Guru Musik Bukan Tukang “Ketok Magic”

Published by

on

Kok judulnya gitu?

Jangan, jangan salah paham dulu. Saya tidak sedang menjelekan sebuah profesi, hanya sebuah ironi yang ingin saya sampaikan kepada banyak orang tua diluar sana.

Apa alasan saya berhenti mengajar 7 tahun yang lalu?

Bukan karena bayaran rendah, tadinya semua orang berpikir dengan menaikkan gaji seorang guru akan membuat dia tambah betah. Untuk seorang guru yang betul-betul semangat mengajar, duit bukan masalah kok. Ilmu memang mesti diamalkan, kalau bisa menghasilkan itu hanya bonus.

Jadi yang bikin saya keluar apa? Karena lingkungan kerja yang gak sehat, saya tidak mengatakan sekolah musik/ tempat kursus saya bekerja itu salah, para pemilik usaha sekolah tersebut justru sangat baik. Saya malahan dulu berpikir, “Gue kali ya biang keroknya?” Tapi ternyata setelah 7 tahun berlalu saya akhirnya bisa memaafkan diri saya sendiri. Saya menyadari ternyata saya bukan orang yang tidak kompeten juga untuk ngajar, buktinya saya masih sering ngasih lesson gratis jika ada kesempatan diundang sebagai pembicara atau bikin workshop di berbagai komunitas.

Trus apa dong? Pasti karena muridnya? Nggak lah! Murid itu mau anak-anak atau dewasa sama aja alasannya, mereka cuma ingin bisa melakukan sesuatu yang mereka belum bisa. Nah seharusnya guru itu menjadi tempat bertanya dan menjadi sosok panutan. Disini saya sempat berpikir, apa sih pentingnya gue ngajar? Gue punya anak, ngapain banget gw bela-belain benerin anak orang sementara anak gw di rumah berantakan. Kira-kira begitu ironi pertama dalam hidup sebagai pengajar.

Terdengar egois? Hak saya kok. Malah kewajiban ngomong gitu, biar para orang tua (untuk siswa anak-anak) sadar kalau saya bukan tukang ketok magic. Udah tau kan cara kerjanya ketok magic? Pokoknya anda tinggalin aja mobil (anak) anda di bengkel (sekolah) kami, nanti anda jemput udah gak penyok (tidak nakal) dan kinclong (pintar). Anda tidak perlu tahu bagaimana cara kami betulin (ngajar) mobil (anak) anda, pokoknya rapi asal anda bayar.

Saya akhirnya tinggalkan dunia mengajar, meski saya suka sekali. Dan dari keputusan saya itu, saya sekaligus juga senang karena di saat yang bersamaan, saya punya waktu untuk melatih pengalaman diri saya diatas panggung, kerja di studio dan di sebuah perusahaan. Saya waktu itu bicara dalam hati “nanti umur 30 tahun, gw kerja dari rumah aja ah” trus niat ini saya sampaikan ke istri saya, dia senang sekali. Karena ternyata dunia kerja itu memang menyita waktu , bikin capek, dan semakin jelas bahwa sekeras apapun kamu usaha pasti ada limitnya, dan kalau hasilnya tidak memuaskan sebaiknya segera sudahi saja. Pasti para motivator akan bilang don’t quit , Saya mah “bodo amat” gw udahan, waktu gw gak bakal balik, gw gak rela kehilangan waktu sama anak gw, buat ngurusin kegilaan lo semua. Kira-kira begitu sih kalau mau sambil teriak ngomongnya.

Trus akhirnya balik jadi Family man menjadi semudah itu? Tentu tidak kisanak! Saya juga mesti belajar sabar, karena ternyata dampak dari kekacauan di tempat kerja itu rupanya bikin saya jadi pemarah. Tapi pelan-pelan saya coba bikin diri saya capek dengan cara yang lain (supaya abis energi marahnya) yaitu dengan bikin banyak karya, trus ga ada bedanya dong kalau akhirnya sibuk lagi? Bedanya, kali ini saya ngajarin anak saya sendiri dan melibatkan dia dalam usaha saya. Separah-parahnya saya sibuk, anak saya dalam pengawasan, dia bisa lihat saya kerja, kalau bosan ngobrol sama saya dia bisa ngobrol dengan mitra kerja saya, dia jadi lebih sering ketemu dengan saya, meski yaaaa begitulah (kayaknya) bahkan istri saya juga ikut kerja disitu, jadinya apa? Karena fokus keluarga yang utama, kami saling mengerti dan cepat sadar masalah itu akan selalu datang tapi kalau kita biasa menghadapinya sama sama tentunya lebih ringan dan tidak bikin orang lain ikutan stress. Seindah itu? Ya, meski ekspresi wajah kami datar seperti bumi #eh ,kenyataannya saya mensyukuri satu hal, duit mah muter-muter seputar kantong, dompet dan rekening. Sekeras apapun berusaha meraih dan menahannya, cair itu sudah sifat duit, yang penting belajar cara memanfaatkannya saja.

Sekarang ngajar lagi dong? Saya gak nyari murid, saya cari orang yang mau belajar.

Satu tanggapan untuk “Guru Musik Bukan Tukang “Ketok Magic””

  1. MT Avatar

    Jalani ajalah apa yg mesti dijalani. Duit mah gak usah dikejar. Biar dia yg ngejar kita

    Suka

Tinggalkan Balasan ke MT Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Buat situs web atau blog di WordPress.com